Perpecahan di Israel: Mengapa Warga Israel Mulai Meninggalkan Tanah Pendudukan?
Latar Belakang: Ketika Tanah yang Dijanjikan Menjadi Tanah Ketakutan
Selama puluhan tahun, Zionisme menjual mimpi kepada dunia: sebuah tanah yang dijanjikan, penuh damai bagi kaum Yahudi setelah diaspora panjang. Namun hari ini, tanah itu retak oleh paradoksnya sendiri. Israel, yang dibangun di atas tanah curian dan penderitaan rakyat Palestina, kini menghadapi eksodus yang tak terduga—bukan dari luar masuk ke dalam, melainkan sebaliknya: gelombang warga Israel yang memilih meninggalkan tanah pendudukan, kembali ke tanah kelahiran nenek moyang mereka di Eropa, Amerika, atau Rusia.
Apa yang terjadi ketika tanah impian berubah menjadi ladang ketakutan?
Fenomena: Rasa Tak Aman dan Arus Balik Migrasi
Tiga faktor utama menggerakkan gelombang migrasi balik warga Israel:
1. Ketidakamanan yang Kronis:
Roket dari Gaza, serangan dari perbatasan Lebanon, hingga perlawanan rakyat Palestina di Tepi Barat menjadikan Israel negeri yang tak pernah tidur tanpa mimpi buruk. Meski memiliki sistem pertahanan tercanggih, rasa aman tak pernah betul-betul hinggap di benak warganya. Hidup di bawah bayang-bayang sirene peringatan bukanlah kehidupan yang layak.
2. Polarisasi Sosial-Politik yang Mengoyak:
Internal Israel sendiri kini terbelah tajam. Konflik antara kelompok ultra-ortodoks dan sekuler, pro-pemerintah dan anti-Netanyahu, serta ketidakpuasan terhadap kebijakan apartheid menciptakan friksi yang mendalam. Israel bukan lagi sebuah entitas homogen, melainkan mosaik rapuh yang siap pecah kapan saja.
3. Kegagalan Proyek Zionisme Modern:
Janji kesejahteraan dan kemakmuran yang dikampanyekan para pendiri Israel tak lagi memikat generasi muda. Kenaikan harga kebutuhan hidup, beban wajib militer, dan keterasingan dari komunitas internasional membuat banyak warga Yahudi lebih memilih hidup damai di negara asal keluarga mereka ketimbang menjadi bagian dari mesin kolonial.
Ancaman Eksistensial bagi Israel
Gelombang migrasi keluar ini adalah krisis demografi yang diam-diam menggerogoti fondasi Israel. Negara yang mengandalkan mayoritas Yahudi kini menghadapi ancaman jumlah dan loyalitas. Ketika warganya sendiri memilih pergi, Israel kehilangan bukan hanya angka statistik, tetapi legitimasi moral atas eksistensinya.
Lebih dari sekadar statistik, ini adalah sinyal: proyek Israel Raya yang ekspansif gagal menanam rasa aman dan keadilan, bahkan bagi warga Yahudinya sendiri.
Rekomendasi Kebijakan
- Sorot Narasi Perpecahan Israel: Komunitas internasional dan media harus mengangkat secara masif fakta ketidakstabilan internal Israel sebagai konsekuensi dari penjajahan.
- Dukungan untuk Perlawanan Palestina: Saat Israel terbelah, momentum perlawanan Palestina harus diperkuat melalui solidaritas internasional.
- Boikot, Divestasi, dan Sanksi: Tekanan ekonomi harus terus digencarkan untuk mempercepat keruntuhan moral dan material rezim apartheid.
Penutup: Ketika Penjajah Kehilangan Tanah Jajahannya
Ironi sejarah kini terpampang jelas: kolonialisme tak pernah membuahkan kedamaian, bahkan bagi para penjajahnya. Israel mulai ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri. Retakan ini bukan hanya awal kehancuran proyek Zionisme, tapi juga panggilan bagi kita semua.
Mari Turun ke Jalan di Hari Internasional Al-Quds!
Inilah saatnya berdiri bersama Palestina. Saat para penjajah mundur, kita maju. Saat mereka pergi, kita bersuara. Karena Al-Quds adalah milik semua yang menolak penindasan!
Presidium BARQ
(22 Maret 2025)