Kumpulan Puisi Tentang Palestina

10 Min Read

Puisi di bawah ini hak cipta ada pada masing-masing penulis. Bebas untuk disebarluaskan dalam rangka kegiatan nonprofit demi Palestina. Dilarang memanfaatkan untuk keperluan komersial tanpa seizin para penulis.

Tangisan Langit Gaza

Di Gaza, langit bukan lagi atap pelindung,
melainkan langit retak tempat bom berjatuhan,
awan hitam tak membawa hujan,
melainkan serpihan logam yang merobek daging dan dinding-dinding rumah.

Anak-anak berlari tanpa alas kaki,
mengejar bayangan ibu yang terhapus ledakan,
mengejar boneka yang terpendam di antara puing-puing,
mengejar tawa yang dirampas oleh dentuman meriam.

Jeritan pilu dan derai air mata
hilang sudah, diterbangkan angin kencang,
lenyap di udara, seiring hilangnya harapan,
sementara malam datang tanpa janji pagi yang utuh.

Buku-buku mereka terbakar sudah,
buku gambar berganti reruntuhan puing,
seragam sekolah berganti kain kafan,
pena-pena kecil tak sempat menulis mimpi,
terkubur di bawah tiang listrik yang tumbang.

Dunia menutup mata,
para pemimpin sibuk menghitung-hitung angka,
menggulung simpati dalam laporan statistik,
seolah Gaza hanya sekadar angka,
bukan denyut nadi dari kemanusiaan yang berdarah.

Tubuh-tubuh kecil itu,
adalah huruf-huruf kemanusiaan yang dihapus paksa,
baris puisi yang dipatahkan sebelum sempat dibaca,
mata beningnya memantulkan dunia yang bisu,
sebuah dunia yang lebih takut pada veto,
daripada jerit anak-anak yang tersesat di bawah reruntuhan.

Dan Gaza, kini menjadi panti yatim terbesar di bawah langit,
di mana tak ada bintang yang bersinar,
kecuali percikan api dari rudal yang menyalak di malam hari.

Berapa banyak anak-anak lagi
yang harus tidur di bawah sirine,
yang harus belajar menghitung dentuman,
alih-alih menghitung angka-angka di papan tulis?

Berapa banyak lagi tubuh mungil
yang akan dipeluk orang tua mereka tanpa nyawa,
sebelum dunia sadar:
yang gugur di Gaza bukan hanya tubuh,
melainkan masa depan kita semua?

Di Gaza, tanah menampung darah
lebih banyak dari air hujan,
dan langit pun sudah terlalu lelah
menampung tangisan yang tak pernah reda.

Tetapi meski langit runtuh,
dan bumi mereka retak,
Gaza mengajarkan:
bahwa sebuah luka pun bisa jadi nyala,
dan di mata anak-anak yatim Palestina,
masih berkibar harapan yang tak bisa dibunuh peluru.

Amarah Itu Akan Datang

Wahai Zionis,
dengarkan bisikan bumi yang setiap hari kalian injak!
Itu bukan tanah mati—
itu rahim para pejuang,
yang tak pernah kehabisan anak-anak pemberani.

Kalian kira tanah ini tandus?
Tidak!
Ia mengandung benih perlawanan,
berakar di bawah reruntuhan rumah yang kalian hancurkan,
bernafas di sela-sela blokade yang kalian tegakkan.

Setiap darah syuhada yang kalian tumpahkan,
bukanlah air yang mengering di pasir,
tapi sungai api,
yang mengalir ke dada ribuan tangan
yang menggenggam bara perjuangan,
siap membakar peta-peta palsu kalian.

Kalian sangka Gaza telah habis?
Kalian kira Palestina sudah tiada?
Ketahuilah,
dari setiap puing batu yang kalian robohkan,
tumbuh akar-akar kemarahan yang tak bisa kalian cabut,
dari setiap kamp pengungsi yang kalian koyak,
terbit mata-mata anak muda
yang menatap tajam ke masa depan kalian yang rapuh.

Kami adalah angin dari timur,
membawa kabar buruk bagi penjajah,
hembus kami tak bisa kalian halau dengan tembok-tembok tinggi,
gugusan langkah kami tak bisa kalian hapus
dengan satu-dua embargo.

Kami adalah bayang-bayang yang tak bisa kalian tembak,
kami suara malam yang mengetuk bentengmu,
di saat kalian tertidur di balik senjata,
kami adalah mimpi buruk
yang mengendap-endap di lorong sejarah kalian.

Ingatlah!
Tak ada kekuasaan yang abadi di atas darah manusia!
Setiap penjajahan pasti berujung
di jurang kehancuran!

Bersiaplah!
Di balik seragammu yang kebal peluru,
di bawah bendera kalian yang diwarnai darah,
ombak manusia tak bisa kalian hentikan,
ombak yang lahir dari duka Gaza,
ombak yang tumbuh dari bara Al-Quds,
ombak yang akan menyapu bersih
peta-peta buatan yang kalian gambar dengan tinta kolonialisme.

Kalian mungkin punya rudal,
tapi kami punya kesabaran zaman.
Kalian mungkin punya sekutu,
tapi kami punya sejarah yang memihak kebenaran.

Dan sejarah tak pernah mencatat,
bahwa penjajahan menang selamanya.

(Poster karya Dony Thristanto)

Maaf Kami, Ya Rasulullah

Ya Rasulullah,
Hari ini kami datang di ujung waktu,
dengan kepala tertunduk,
membawa dada penuh luka dan lisan yang kelu.
Langkah kami berat,
bukan karena rintangan,
tapi karena beban malu yang tak sanggup kami pikul.

Engkau dahulu,
di malam-malam sunyi,
menangis untuk ummat yang bahkan belum lahir,
menggenggam duka mereka dalam sujud panjang,
menitipkan harapan pada Allah,
agar kelak kami menjadi ummat yang teguh,
berdiri di barisan keadilan,
berani melawan kezaliman.

Tapi lihatlah kami kini—
kami sibuk mempercantik rumah kami,
sementara rumah Allah di Al-Aqsha diinjak-injak,
kami sibuk menawar dunia,
sementara anak-anak Gaza dikepung kelaparan.

Engkau dahulu berperang, bukan demi kekuasaan,
tapi demi membebaskan manusia dari ketakutan.
Tapi lihatlah kami hari ini—
bahkan untuk sekadar mengangkat suara,
lidah kami kelu,
hati kami beku.

Maafkan kami, Ya Rasul,
atas ketidakmampuan kami
menghapus air mata anak-anak Palestina,
mengobati luka yang sejak lebih dari 14 abad lalu
telah kau tangisi.

Masjid Al-Aqsha—kiblat pertama kita—
dinistakan tanpa satu pun kami mengangkat senjata,
kami terlalu pandai mencari-cari alasan,
bersembunyi di balik dalih diplomasi dan kepentingan,
menghindari beban karena ketakutan,
padahal satu kalimat darimu telah cukup:
“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu.”

Tapi kami biarkan kau terus tenggelam dalam tangisan,
kami biarkan darah saudara kami menjadi sungai,
sementara tangan kami sibuk menghitung keuntungan dunia.

Padahal kami tahu,
engkau tak butuh simpati berupa satu dua kata,
tak butuh pujian atas lisan kami,
yang mengaku cinta,
tapi membisu saat keadilan dipatahkan.

Kami tahu, di sisi Arsy,
hatimu kembali terluka,
melihat umatmu berdiri terpaku,
di saat saudara-saudaranya disembelih di bumi Palestina.

Maafkan kami, Ya Rasul,
atas diam kami,
atas nyali kami yang ciut,
atas cinta yang sebatas retorika.

Tapi hari ini, di bawah langit ini,
kami bersumpah untuk bangkit,
mengeringkan air matamu,
dengan amal, dengan perlawanan,
dengan langkah-langkah yang tak lagi bersembunyi.

Semoga masih ada waktu
bagi kami, umatmu,
untuk menjadi pelita,
bukan bayang-bayang ketakutan di hadapan penjajah.

Rindu Salat di Masjid Al-Aqsha

Angin timur membawa azan dari kejauhan,
lantunan lirih meniti ufuk,
menggetarkan relung hatiku yang terus merindukanmu,
wahai Al-Aqsha, kiblat pertama hatiku.

Aku berdiri di sini,
di bawah langit yang tak terinjak bayang-bayang penjajah,
tapi ruhku melayang melampaui batas-batas geopolitik,
meniti jalan panjang yang dibentangkan empat belas abad silam.
Sajadahku tak berujung,
membentang dari bumi Nusantara,
menautkan langkahku dengan tanah suci tempat kekasihku,
Rasulullah menjejakkan kaki
sebelum melesat menembus langit,
menyingkap tabir kegaiban di Sidratul Muntaha.

Aku ingin merasakan dingin lantaimu,
lantai yang basah oleh air mata para syuhada,
di antara pilar-pilar tua yang menyimpan rintih doa para nabi,
pilar yang diam-diam menyaksikan
berabad-abad pergulatan antara penjajah dan pembebas.

Aku ingin menginjak batu,
tempat kaki Nabi mengabarkan pada dunia:
bahwa dari tanah ini,
perjalanan menembus langit bermula.

Tapi yang kudengar hari ini,
bukan kidung merpati yang hinggap di kubahmu,
melainkan deru rudal yang memecah adzan,
melukai malam-malam sujud yang tenang.

Aku ingin sujud di bawah langitmu,
tanpa dentuman bom yang mengoyak zikir malamku,
tanpa bayonet yang mengintai di setiap pintumu,
tanpa rantai yang melilit tangan anak-anak yang membawa mushaf.

Ya Allah,
Ijinkan aku, sebelum ajal menjemput,
melantunkan Al-Fatihah di bawah kubah suci itu,
bukan sebagai tamu yang dibatasi sekat,
tapi sebagai hamba yang merdeka,
yang menghirup damai di pelataran rumah-Mu,
yang menatap bintang-bintang di langit Al-Quds
tanpa bayang bayonet dan tembok-tembok apartheid.

Ijinkan aku, Ya Allah,
menyentuh mihrab Al-Aqsha,
membaca doa seperti yang dulu dibaca para ulama,
tanpa penghalang, tanpa takut, tanpa penjajah.

Karena rindu ini bukan hanya milikku,
tapi milik jutaan jiwa yang bermimpi
mencium harum tanah tempat Rasul kami singgah,
tanah yang hari ini terluka,
namun tetap suci di mata langit dan sejarah.

Bandung, Ramadhan, 2025

Otong Sulaeman ([email protected])

(Foto: kota Haifa – Palestina tahun 1947, kini diduduki Israel)

AKU DARI HAIFA

Aku dari Haifa
Terlahir dari cinta ayah, ibu, kakek, dan nenekku.
Aku dibesarkan dengan lembutnya hummus,
dengan gemericik minyak zaitun panas yang memanggang falafel.
Aku dilindungi oleh dinding-dinding kamar berwarna salem
dan jendela besar dengan tirai putih.
Ditemani gemuruh ombak Mediterrania
dan semilir angin lautan yang masuk lewat jendela.

Aku dari Haifa,
Aku tumbuh dengan mimpi-mimpi indah di langit biru di atas jembatan Wadi Husimiyah.
Aku dipeluk oleh aroma dapur nenekku, lukisan di dinding kamar ibuku, gemerincing tamburin, dan syair-syair tetua kampungku.

Aku dari Haifa,
Tanah tua yang ditinggali manusia ribuan tahun,
orang Kanaan, Bani Israel, Romawi, Bizantium, Arab, Kurdi,
Mamluk, dan Turki, dan para pendatang dari berbagai sudut bumi.
Aku mendengar dari ayahku, ayahku dari kakekku, kakekku dari kakeknya,
kakeknya dari kakeknya dan seterusnya,
Tentang Tell Abu Hawam, Jabal Mar Ilyas, Al Muharrakah, Dewa Baal, para pendeta kuno, Nabi Ilyas, dan Tuhan seru semesta alam.

Aku dari Haifa
Aku menikmati wanginya dunia.
Hingga suatu hari dentuman senapan dan teriakan-teriakan kasar memenuhi udara.
“Ruh…! Ruh!”
“Hari pembalasan sudah tiba! Tinggalkan rumah-rumah kalian!”
Dan semua berlarian. Ayahku menggandengku, ibuku menangis tanpa henti. Kakek dan nenekku tertatih-tatih.
“Ya Rabb! Ya Rabb!” jerit nenekku.
Kami berlari dan terus berlari. Hingga ke pantai Mediterrania.
Hari itu, laut tak lagi indah. Langit tak lagi biru.
Gunung Karmel berdiri angkuh, menatap ribuan dari kami yang tunggang langgang.

Aku dari Haifa.
Kaum angkara murka di luar sana, dari negeri yang jauh,
telah menetapkan nasib kami.
Rumah, tirai putih, dapur, lukisan, jembatan, tiba-tiba bukan milik kami lagi.
Kami berlari dan terus berlari.

Aku dari Haifa.
Dinding-dinding kamarku yang berwarna salem kini menjadi dinding kusam penuh grafiti.
Jendela besar dengan tirai putihku kini berganti lubang kecil di tembok kusam berlapis kain lapuk.

Jembatan dan langit biruku berubah menjadi posko-posko
dengan serdadu bengis yang berkuasa atas nasibku.
Ayahku, ibuku, kakek, dan nenekku semua mati dalam nestapa rindu pada rumah.

Aku dari Haifa,

Suatu hari uatu hari, aku pasti kembali ke sana.

by: Deen ([email protected])
2 Mei 2019

Kumpulan Puisi Palestina karya Hikmat Gumelar

(diterbitkan oleh [email protected])

Share This Article